Alkitab Hari Ini

Sabtu, 04 Desember 2010

C.T. Studd


C.T. Studd adalah seorang pria keturunan Inggris yang kaya raya. Ia dikenal sebagai atlet kampus dan mahasiswa relawan yang kontroversial. Ia begitu gigih mengajak para mahasiswa relawan lainnya untuk berkontribusi dalam penginjilan. Fokus perhatiannya adalah Kerajaan Allah. Cara-cara penginjilannya tampak tidak lazim, dan ia adalah seorang yang memiliki kepribadian yang teguh pada prinsip, sehingga membuatnya menjadi salah seorang misionaris kontroversial dalam sepanjang sejarah gereja Injili modern. Namun perannya patut dihargai, salah satunya sebagai pendiri dan direktur Gerakan Penginjilan Sedunia (The Worldwide Evangelization Crusade) yang menyiapkan berbagai fakta mengenai ladang misi bagi para calon penginjil. Dengan kepemimpinan yang tegas dan berdisiplin, ia disegani oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Studd dibesarkan di Tedworth dan ia hidup berkelimpahan dengan tinggal di perumahan berfasilitas mewah di Wiltshire. Edward Studd, ayah C.T. Studd, adalah seorang petani sukses di India. Namun, ia memutuskan untuk kembali ke Inggris dan menghabiskan sisa masa hidupnya di sana. Akhirnya, Edward Studd melibatkan diri dalam salah satu kampanye penginjilan milik D.L. Moody. Kebangkrutan Edward Studd kemudian yang menyadarkan dirinya untuk mulai mengadakan pertemuan pemahaman Alkitab di Tedworth, tempat ia menginvestasikan tenaganya untuk menyelamatkan teman-teman dan sanak keluarganya.

C.T. Studd dan kedua saudaranya sudah bertobat sebelum ayah mereka meninggal. Studd bergabung dengan kampanye Moody dan menyerahkan hidupnya untuk pelayanan penginjilan di negara asing. Kehidupan C.T. Studd sudah berdampak besar di Cambridge. Selain bakatnya yang luar biasa sebagai pemain kriket terbaik di antara para anggota "Kesebelasan Cambridge" (bahasa Inggris: Cambridge Eleven), satu hal yang juga menghebohkan ialah adanya enam mahasiswa Cambridge lainnya -- semua mahasiswa cerdas dan berbakat -- yang mengambil keputusan yang sama dengan Studd, setelah mereka mengetahui keputusan Studd. Studd dan keenam temannya tersebut dijuluki "Sapta Cambridge" (bahasa Inggris: Cambridge Seven). Mereka bernazar untuk berlayar ke China dan melayani bersama di bawah naungan Misi Pedalaman China (China Inland Mission -- CIM).

"Belum pernah terjadi sebelumnya di dunia misi," tulis seorang reporter, "serombongan orang-orang unik dikirim untuk melayani di ladang asing." Bagi banyak orang, termasuk anggota keluarga Studd sendiri, keputusan ketujuh mahasiswa itu merupakan ide konyol dan sia-sia. Mereka menyia-nyiakan kepandaian dan kemampuan mereka begitu saja.
Pelayanan Studd di China berlangsung kurang dari 10 tahun namun banyak pekerjaan telah dilakukannya. Tidak lama setelah dia tiba di sana, Studd bertemu dan menikah dengan Priscilla Steward yang juga melayani di sana, di bawah naungan Salvation Army. Mereka dikaruniai empat putra. Pada tahun-tahun awal pelayanan di China, mereka mengalami banyak kesulitan. "Selama 5 tahun," kata Studd, "tidak seorang pun di antara kami yang bisa pergi ke luar rumah tanpa mengalami hujan cercaan dari tetangga-tetangga kami. Namun selama kami tetap bertahan, pelayanan kami semakin berkembang luas." Priscilla semakin giat dengan pelayanan penginjilannya bersama para wanita, sedangkan Studd sibuk dengan pelayanan kepada para pecandu narkoba.
Pada tahun 1894 karena alasan kesehatan, Studd beserta keluarganya kembali ke Inggris. Dia berkhotbah dalam penginjilan di Amerika Serikat dan Inggris selama 6 tahun dengan mengatasnamakan "Gerakan Relawan Mahasiswa". Menurut J. Herbert Kane, "... ribuan mahasiswa berkumpul dalam pertemuan-pertemuan ini, kadang-kadang ada enam pertemuan dalam sehari ... dan ratusan orang, yang terlibat dalam gerakan kebangunan, mengajukan diri sebagai relawan pelayanan misi." Pada tahun 1900, Studd dan keluarganya hijrah ke India selama 6 tahun untuk melayani para petani dan penduduk yang bisa berbicara bahasa Inggis. Namun, selama kurun waktu tersebut misi penginjilannya kurang berjalan baik dan tidak memuaskan dirinya sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Inggris. Ia mulai kehilangan fokus mengenai apakah yang menjadi pusat kehendak Allah.

Suatu saat, ia membaca sebuah berita yang bertuliskan "Kanibal Mencari Penginjil" dan berita tersebut mengubah arah hidup Studd.
Ia mendengar bahwa ratusan di antara ribuan suku di Afrika Tengah sama sekali belum pernah mendengar Injil "karena tidak seorang pun rela pergi ke sana untuk memberitakan Yesus". "Rasa malu" tersebut, menurut Studd, "membekas jauh ke dalam" jiwanya. "Saya bertanya, 'Mengapa tidak ada seorang Kristen pun pergi ke sana?' Tuhan menjawab, 'Mengapa engkau tidak pergi?' 'Dokter tidak mengizinkanku,' kataku. Jawaban Tuhan datang, 'Bukankah Aku ini tabib yang ajaib? Apakah Aku tidak akan memampukanmu melakukannya? Apakah Aku tidak berkuasa menjagamu di sana?' Tidak ada alasan untuk mengelak, hal ini harus dilaksanakan."
Pada tahun 1910 ia melakukan perjalanan penelitian. Setahun berikutnya ia kembali untuk merencanakan pelayanan misi yang baru ke Afrika, pelayanannya ini disebut Hati Misi untuk Afrika (bahasa Inggris: "the Heart of Africa Mission"). Pada saat melakukan pelayanan itu, Studd mendapat kabar bahwa istrinya mengalami komplikasi hati, namun dia tetap bertahan di Afrika. Ia meyakini bahwa pekerjaan Tuhan adalah prioritas utamanya, melebihi kepentingan keluarga. Pada waktu dia kembali dari pelayanan misi tahun 1916, ia mendapati istrinya, Priscilla, sudah sehat dan sangat aktif dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dia juga bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.

Beberapa tahun kemudian banyak orang terlibat dalam pelayanan karena pengaruh Studd, mulai dari anak-anak perempuannya hingga menantu-menantunya. Akan tetapi, karena banyak misionaris yang berdatangan, muncul hambatan dalam perkembangan misi akibat perbedaan doktrin di antara mereka sendiri. Bahkan, anak-anak perempuan Studd dan menantu-menantunya kini mulai merasa ayah mereka sudah menjadi seorang yang sulit diajak bekerja sama. Ia mengorbankan segala sesuatu untuk Afrika dan berharap rekan-rekannya berbuat yang sama. Ia bekerja 18 jam setiap hari. Norman Grubb, sang menantu berkata, "Tidak ada pekerjaan yang dibiarkan terbengkalai, ia terus berfokus pada tujuan pelayanannya, tidak ada waktu untuk berlibur, tidak ada waktu rekreasi." Setiap misionaris diharapkan untuk hidup sesederhana orang Afrika, dan sebisa mungkin tidak berpenampilan seperti pendatang Eropa.

Kontoversi doktrin pun sering terjadi di antara Studd dan rekan-rekannya sepelayanan, khususnya orang-orang yang terlibat di lapangan. Terjadi kemajuan yang sungguh luar biasa dan banyak orang mendatangi mereka dari berbagai pelosok daerah. Menjelang akhir 1920, meskipun Studd telah bekerja keras dan mengabdikan diri sepenuhnya, ia semakin kehilangan dukungan dari keluarganya. Kegigihan tekadnya pada idealisme dan pandangannya yang negatif mengenai orang-orang Kristen Afrika begitu disadari oleh keluarganya.

Masalah lain timbul ketika Studd menulis sebuah buku kecil berjudul "D.C.D." Buku itu muncul sebagai tanggapan terhadap kelesuan dalam hidup orang-orang Kristen. Ia berkata, "Saya ingin menjadi salah satu dari orang-orang yang berkata 'persetan dengan apa pun yang lain' kecuali untuk memberikan hidupku kepada Yesus dan jiwa-jiwa tersesat." "D.C.D." adalah akronim dari "persetan dengan apa pun" (bahasa Inggris: Don't Care a Damn), sebuah frasa yang mengejutkan dan memerahkan telinga orang-orang Kristen, termasuk beberapa pendukungnya yang setia.

Kesehatan Studd kian memburuk akibat bekerja 18 jam setiap hari. Setelah dilegakan oleh suntikan morfin, ia mulai sering mengonsumsi tablet morfin yang diberikan oleh seorang dokter dari Uganda. Hingga akhirnya perbuatan itu didengar oleh rekan-rekannya sesama misionaris. Salah seorang misionaris itu menyarankan agar dia diberhentikan dari pelayanan penginjilan. Perbuatan Studd dianggap sesuatu yang memalukan dalam sejarah penginjilan.
Akhirnya, kelompok para penginjil yang bekerja bersama Studd mulai mengatur kembali pelayanan penginjilan mereka tanpa melibatkan Studd. Grubb yang dekat dengan Studd juga tidak diikutsertakan lagi. Sementara itu David Munro, menantu Studd yang lain melakukan "tindakan mengejutkan". Ia pergi ke markas besar penginjilan dan mengambil laporan itu demi keselamatan mereka.

Pelayanan misi ini tetap menjadi kacau dan nyaris tanpa harapan untuk diselamatkan dari kehancuran, meskipun ia sudah memiliki nama baik. Adakah yang dapat memulihkan WEC (Worldwide Evangelization Crusade, nama baru the Heart of Africa Mission)? Ada. Beberapa minggu kemudian terdengar kabar kematian Studd. Masa kekacauan itu kini telahberakhir dan dengan kepemimpinan Norman Grubb yang gagah berani, aktivitas penginjilan bisa bersemi kembali dan dedikasi C.T. Studd, sang pendiri misi tetap diakui.

Mengapa salah seorang penginjil muda yang bermartabat tinggi dari Inggris berakhir seperti itu? Tidak diragukan lagi, banyak latar belakang sudah memengaruhi perjalanan hidup Studd. Ketekunannya yang menonjol justru sudah membuatnya jatuh. Karena keinginan besar untuk melakukan banyak hal untuk perkembangan misi sudah membuatnya terpaksa mengonsumsi morfin. "Kita harus giat," tulis Studd, "dan kegigihan kita ini harus senantiasa ditingkatkan." Tetapi, bagi sebagian besar orang, kegigihan itu dianggap satu tindakan "fanatik" atau "ekstrem", yang akhirnya menjatuhkan C.T. Studd. Ia sering menganggap dirinya seorang "Pejudi untuk Tuhan". Bisa dikata, ia sudah berjudi dan kalah.

Pada tahun-tahun berikut setelah kematian Studd, WEC mengalami pertumbuhan yang signifikan, dan menjelang tahun 1970-an penginjilan mereka sudah menjangkau hampir seluruh dunia dengan jumlah penginjil melebihi 500 orang. Salah seorang di antaranya Dr. Helen Roseveare, seorang pemberani, yang memulai pelayanannya di Ibambi tempat Studd melayani tanpa kenal lelah. (t/Setya)

Sumber - http://biokristi.sabda.org/c_t_studd_penginjil_yang_berjiwa_penuh_pengabdian
Ps David O.S Hardjawinata --- GEMBALA JEMAAT GPPS ABANA TENGGARONG - Kalimantan Timur - Twitter @DavidOktavianuz