Meskipun Betty Greene tidak menganggap dirinya sebagai pendiri Mission Aviation Fellowship (MAF), namun pada kenyataannya dialah yang bekerja paling banyak pada tahun-tahun pertama pengajuan konsep organisasi misi penerbangan (mission aviation) sebagai sebuah pelayanan misi khusus. Lebih jauh lagi, dia adalah staf pekerja fulltime pertama dan pilot pertama yang terbang pada saat organisasi itu baru terbentuk.
Meskipun dia seorang wanita, pengalaman dan keahliannya sebagai pilot tidak diragukan lagi. Betty bekerja di Air Force selama bulan-bulan pertama PD II, menerbangkan misi-misi radar. Terakhir dia ditugaskan untuk mengembangkan beberapa proyek termasuk menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-17. Namun, pelayanan di dunia militer bukanlah pilihan karier Betty. Oleh karena itu, sebelum PD II berakhir dia telah meninggalkan dunia militer dan memulai pelayanan seumur hidupnya sebagai seorang pilot misionaris.
Betty tertarik di dunia penerbangan sejak usianya yang ke-16 dan mengikuti pelajaran penerbangan. Saat masih kuliah di Universitas Washington, Betty mendaftarkan diri untuk mengikuti program pelatihan pilot pemerintah sipil. Program ini mempersiapkan dirinya untuk mencapai mimpinya menjadi seorang pilot misionaris. Dia bergabung dalam Women's Air Force Service Pilots (WASP). Motivasi utamanya adalah mencari pengalaman yang nantinya akan membantu dirinya dalam melakukan pelayanan misi.
Pada waktu luangnya, Betty menyempatkan diri untuk menulis sebuah artikel tentang pentingnya misi penerbangan, sekaligus rencana-rencananya untuk mewujudkan impiannya. Tulisannya itu diterbitkan oleh InterVarsity HIS Magazine. Tulisan tersebut mendapat perhatian dari Jim Truxton, pilot angkatan laut yang tertarik dengan misi penerbangan. Jim menghubungi Betty dan memintanya untuk bergabung dengan mendirikan organisasi misi penerbangan.
Tahun 1945, sesaat setelah MAF didirikan, permintaan penting datang dari Wycliffe Bible Translators (WBT) untuk menolong pelayanan mereka di Mexico. Kemudian Betty diminta oleh Cameron Townsend (pendiri WBT), untuk menolong pelayanannya di Peru untuk menerbangkan para misionaris dan persediaan ke daerah pedalaman. Betty mengabdikan dirinya kepada para misionaris di Ethiopia, Sudan, Uganda, Kenya, dan Kongo.
Pada tahun 1960, Betty menjalani tugas penerbangannya yang terakhir, yaitu ke Irian Jaya. Tugas tersebut tidak hanya berbahaya, tetapi juga sulit karena hutannya yang berliku-liku dan mengerikan. Untuk menerima bantuan dari misi penerbangan, setiap pos misi harus membangun sendiri tempat tinggal landas pesawat. Sebelum pendaratan dilakukan, seorang pilot yang berpengalaman harus terlebih dulu terbang melintasi wilayah tersebut untuk memastikan keadaannya. Karena sebagian besar tugas Betty adalah di udara, dia segera menyadari bahwa dia tidak dapat mengimbangi teman sekerjanya, Leona St. John, atau delapan orang suku Moni yang membawakan barang-barangnya saat menyusuri hutan di wilayah Irian Jaya. Betty mengatakan bahwa dia tidak tahu seberapa beratnya perjalanan tersebut.
Tapi semua ketakutan dan kelelahan yang dialami dalam menempuh perjalanan itu akhirnya terobati saat Betty, Leona, dan para pembawa barangnya tiba di desa tujuan mereka. Sambutan yang ramah diterimanya dari penduduk setempat dan sepasang misionaris yang telah bertugas di sana. Terlebih dari itu, Betty juga menemukan tempat untuk pesawatnya mendarat. Perayaan yang sebenarnya baru terjadi keesokan harinya saat seorang pekerja MAF mendarat dengan membawa semua persediaan yang dibutuhkan. Pelayanan Betty mendapatkan banyak penghargaan. Namun, pengalaman yang tak terlupakan sepanjanq kariernya adalah saat dia melayani di Irian Jaya aelama hampir dua tahun.
Sumber - http://biokristi.sabda.org/elizabeth_betty_greene_1